Bambang Bider

AvatarHeart of Borneo

Mempertegas Afiliasi Identitas Sebagai Wacana Perdamaian

Oleh: Bambang Bider

Kenyataannya dunia hampir tak memiliki batas, pengalaman dan kesadaran kita telah sampai pada tahap menyadari dimana kemajuan teknologi di berbagai bidang informasi, telah membuat dunia terpapar begitu luas, beragam, kaya dan dalam kepada setiap individu tak terbatas pada golongan usia, kelas social serta tempat dan waktu. Seolah-olah untuk mengetahui isi dunia ini, hanya tekan satu tombol saja, maka dunia akan terpapar. Secara unity tak ada lagi batas administrasi kawasan–negara, semuanya absurd, dunia telah menjadi semacam global village. Satu aspek kondisi tersebut begitu menguntungkan, namun sekaligus begitu rentan.

Rentang jarak dan waktu, tak lebih dari sekedar ilusi. Jarak dan waktu tak lebih dari sederet digit nomor telepon, handphone, nomor chanel pada tuts remote televisi atau keyboard laptop (computer), yang sekali tekan maka tersambung, terpapar, tergelarlah semuanya. Tak ubah menu, tinggal pilih…terserah. Semuanya dari idea manusia dan perspektif Manusia melihat dunia (manusia lain).

Manusia sebagai subjek melihat serta menemukan manusia lain yang sama, sebagai obyek dan sebaliknya. Manusia mendefinisikan manusia, manusia mereduksi nilai manusia, manusia dengan budaya dan identitasnya sebagai produk budaya yang dihasilkan membangun manusia pula yang paling parah kita saling bertikai karenanya. Ditengah keterpaparan itu kita mencari jati diri, tentu saja kita memiliki banyak pilihan. Tentu saja kita bisa memilih, menentukan dengan sadar, walau pun terkadang tidak juga.

Manusia mencari dan menemukan identitas ditengah keterpaparannya. Keterpaparan yang rentan terhadap pengerdilan kemanusiaannya, bahkan ditengah ironi seolah kita tidak memiliki pilihan selain, hanya tunduk kepada satu-satunya kategori yaitu identitas tunggal.

Dalam pemahaman yang extrem, identitas telah mengasingkan manusia dari sesamanya, seolah-olah kemanusiaan kita hanya ditakar berdasarkan salah satu dari kategori: suku, agama, pandangan politik, kelompok dll. Manusia sekarang memang kemudian menemukan dirinya hanya direduksi dalam identitas suku bangsa, agama, warna kulit, pandangan politik dan ideology. Indikasinya manusia hanya mencari tempat berlindung dari keterpaparannya.

Dunia yang terpapar dipandang tak aman lalu, kita mengasingkan diri dan mencari perlindungan pada sekat-sekat suku, agama, pandangan politik sebagai upaya ini tak lebih dari sekedar hasil sebuah pengkotak-kotakan, sebuah hasil klasifikasi-klasifikasi, pengkategorian, komunitas-komunitas berlabel tertentu, sebuah hasil penyederhanaan yang membuat kita terkadang ”malu menjadi manusia”.




Identitas Bukan Takdir
Identitas tunggal adalah ilusi tentang takdir. Identitas tunggal atau yang lainnya (beserta dampak ikutannya) dapat menumbuhkan kekerasan di dunia ini secara sengaja maupun tak sengaja.

Kita mengidentifikasikan diri berdasarkan salah satu kategori-kategori identitas yang terpapar seolah identitas adalah sebuah takdir walaupun, memiliki identitas adalah keniscayaan. Namun merasakan dan menganggapnya sebagai sebuah takdir adalah sesuatu yang harus direnungkan dan dipikirkan ulang.

Adik saya seorang ”Dayak” menikah dengan gadis ”Jawa”, jadi identitas anaknya adalah ”Dayak – Jawa”, namun kelak seandainya keponakan saya itu sudah dewasa menjadi seorang wartawan maka ia adalah ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” sebagai manusia sosial, ia akan bergaul, kemudian, menyerap nilai-nilai dari afiliasi identitas yang sama dari seorang ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” lainnya. Walau pun ternyata ia bergaul dengan ”Dayak – Tionghoa dan seorang Wartawan” maka ada dua afiliasi identitas yang saling terhubung.

Seandainya nanti menikah dengan gadis ”Melayu” dan memiliki anak lagi, maka si anak akan menyandang identitas ”Dayak – Jawa – Melayu” dan seterusnya entah apa lagi.

Sebuah buku bagus yang ditulis oleh Steve Olson berjudul Mapping Human History tentang Gen, Ras, dan Asal – Usul Manusia mengungkapkan, fakta hasil penelusuran asal-usul manusia melalui penelitian terhadap DNA manusia. Olson mengungkapkan ”...akan tetapi, betapa pun kompleksnya, bukti genetik yang tersedia sekarang mengarah pada sebuah kesimpulan yang jujur. Menurut informasi dalam DNA kita, setiap orang yang hidup saat ini merupakan keturunan sekelompok kecil orang Afrika yang hidup antara 100.000 – 200.000 tahun lalu...”. Jadi hampir pasti kita semua saling terhubung.

Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain, terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri

Perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan juga oleh ilusi tentang adanya identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Fenomena global reduksi identitas manusia dalam identitas tunggal adalah wacana yang membagi penduduk dunia berdasarkan peradaban dan agama. Hal ini melahirkan mendekatan “soliteris” terhadap identitas manusia, yaitu pendekatan yang memandang sebagai satu kelompok semata (dalam hal ini berdasarkan peradaban atau agamanya, berbeda tajam dengan pengelompokan atas dasar kebangsaan dan kelas yang lebih dulu muncul).

Pendekatan soliteris membuka jalan bagi lahirnya kesalahfahaman di antara hampir setiap orang di dunia.

Amartya Sen, seorang penerima nobel bidang ekonomi 1998 dalam bukunya berjudul Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas mengkritik, tesis Benturan antar-Peradaban Samuel Huntington yang terkenal itu cuma menumpang belaka pada kategorisasi tunggal seturut apa yang disebut sebagai garis-garis peradaban. Ternyata garis-garis peradaban itu sendiri ditarik berdasarkan pemilahan berdasarkan agama semata dan menjadi satu-satunya aspek yang diacu sebagai dasar amatan. Huntington membuat kontras tajam antara “Peradaban Islam”, “Peradaban Hindu”, “Peradaban Budha” dsb. Asumsi tentang adanya konfrontasi antaragama ini dicakupkan ke dalam pandangan yang dibangun secara serampangan mengenai keterpisahan yang dominan dan kukuh.

Afiliasi Identitas – Sarana Perdamaian
Padahal dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai anggota dari berbagai macam kelompok – kita menjadi bagian dari semua kelompok tersebut. Tanpa perlu timbul kontradiksi, seorang yang sama dapat sekaligus menjadi seorang warga negara, pemeluk satu dari sekian banyak agama yang ada, seorang liberal, seorang perempuan, seorang pegetarian, seorang pelari jarak jauh, seorang sejarawan dll….Masing-masing kelompok di atas, tempat orang yang sama menjadi bagian dari keseluruhannya secara simultan, memberi suatu identitas yang khas. Dari masing-masingnya tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai identitas yang dimiliki oleh orang tersebut, apalagi komunal.

Pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tetap – pasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan. Namun dengan demikian, tetap sulit bagi kita untuk memercayai orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempat bernaung, atau bahwa dia hanya perlu “menentukan” identitas kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya penomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam). Pada kenyataannya, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan meskipun secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita mempunyai kebebasan yang jelas untuk mengakui, menghargai, dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Identitas tunggal dapat menimbulkan rasa keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok, bisa mengandung didalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.

Rasa keterikatan terhadap komunitas dipandang suatu sumber daya–laiknya modal. Pemahaman semacam ini penting memang, tetapi mesti disertai oleh pemahaman yang lebih dalam bahwa suatu rasa akan identitas dapat sungguh-sungguh membuat orang menampik yang lain meski perasaan yang sama pula dapat mendorong satu pihak merangkul yang lain secara bersahabat.

Seandainya kita mampu melihat secara jernih bahwa kita memiliki berbagai afiliasi yang berbeda dan dapat berinteraksi satu sama lain, melalui beragam cara yang berlainan. Tidak mengerangkeng kemanusiaan kita dalam kategori-kategori identitas tunggal, maka selalu ada kebebasan bagi kita untuk menentukan prioritas kita sendiri dalam artian afiliasi identitas adalah sebuah sarana saling memahami dan berdamai***


1 comments:

December 9, 2010 at 6:44 AM Bambang Bider said...

sepertinya harus ada perbaikan nih..!!!