Bambang Bider

AvatarHeart of Borneo

Mempertegas Afiliasi Identitas Sebagai Wacana Perdamaian

Oleh: Bambang Bider

Kenyataannya dunia hampir tak memiliki batas, pengalaman dan kesadaran kita telah sampai pada tahap menyadari dimana kemajuan teknologi di berbagai bidang informasi, telah membuat dunia terpapar begitu luas, beragam, kaya dan dalam kepada setiap individu tak terbatas pada golongan usia, kelas social serta tempat dan waktu. Seolah-olah untuk mengetahui isi dunia ini, hanya tekan satu tombol saja, maka dunia akan terpapar. Secara unity tak ada lagi batas administrasi kawasan–negara, semuanya absurd, dunia telah menjadi semacam global village. Satu aspek kondisi tersebut begitu menguntungkan, namun sekaligus begitu rentan.

Rentang jarak dan waktu, tak lebih dari sekedar ilusi. Jarak dan waktu tak lebih dari sederet digit nomor telepon, handphone, nomor chanel pada tuts remote televisi atau keyboard laptop (computer), yang sekali tekan maka tersambung, terpapar, tergelarlah semuanya. Tak ubah menu, tinggal pilih…terserah. Semuanya dari idea manusia dan perspektif Manusia melihat dunia (manusia lain).

Manusia sebagai subjek melihat serta menemukan manusia lain yang sama, sebagai obyek dan sebaliknya. Manusia mendefinisikan manusia, manusia mereduksi nilai manusia, manusia dengan budaya dan identitasnya sebagai produk budaya yang dihasilkan membangun manusia pula yang paling parah kita saling bertikai karenanya. Ditengah keterpaparan itu kita mencari jati diri, tentu saja kita memiliki banyak pilihan. Tentu saja kita bisa memilih, menentukan dengan sadar, walau pun terkadang tidak juga.

Manusia mencari dan menemukan identitas ditengah keterpaparannya. Keterpaparan yang rentan terhadap pengerdilan kemanusiaannya, bahkan ditengah ironi seolah kita tidak memiliki pilihan selain, hanya tunduk kepada satu-satunya kategori yaitu identitas tunggal.

Dalam pemahaman yang extrem, identitas telah mengasingkan manusia dari sesamanya, seolah-olah kemanusiaan kita hanya ditakar berdasarkan salah satu dari kategori: suku, agama, pandangan politik, kelompok dll. Manusia sekarang memang kemudian menemukan dirinya hanya direduksi dalam identitas suku bangsa, agama, warna kulit, pandangan politik dan ideology. Indikasinya manusia hanya mencari tempat berlindung dari keterpaparannya.

Dunia yang terpapar dipandang tak aman lalu, kita mengasingkan diri dan mencari perlindungan pada sekat-sekat suku, agama, pandangan politik sebagai upaya ini tak lebih dari sekedar hasil sebuah pengkotak-kotakan, sebuah hasil klasifikasi-klasifikasi, pengkategorian, komunitas-komunitas berlabel tertentu, sebuah hasil penyederhanaan yang membuat kita terkadang ”malu menjadi manusia”.




Identitas Bukan Takdir
Identitas tunggal adalah ilusi tentang takdir. Identitas tunggal atau yang lainnya (beserta dampak ikutannya) dapat menumbuhkan kekerasan di dunia ini secara sengaja maupun tak sengaja.

Kita mengidentifikasikan diri berdasarkan salah satu kategori-kategori identitas yang terpapar seolah identitas adalah sebuah takdir walaupun, memiliki identitas adalah keniscayaan. Namun merasakan dan menganggapnya sebagai sebuah takdir adalah sesuatu yang harus direnungkan dan dipikirkan ulang.

Adik saya seorang ”Dayak” menikah dengan gadis ”Jawa”, jadi identitas anaknya adalah ”Dayak – Jawa”, namun kelak seandainya keponakan saya itu sudah dewasa menjadi seorang wartawan maka ia adalah ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” sebagai manusia sosial, ia akan bergaul, kemudian, menyerap nilai-nilai dari afiliasi identitas yang sama dari seorang ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” lainnya. Walau pun ternyata ia bergaul dengan ”Dayak – Tionghoa dan seorang Wartawan” maka ada dua afiliasi identitas yang saling terhubung.

Seandainya nanti menikah dengan gadis ”Melayu” dan memiliki anak lagi, maka si anak akan menyandang identitas ”Dayak – Jawa – Melayu” dan seterusnya entah apa lagi.

Sebuah buku bagus yang ditulis oleh Steve Olson berjudul Mapping Human History tentang Gen, Ras, dan Asal – Usul Manusia mengungkapkan, fakta hasil penelusuran asal-usul manusia melalui penelitian terhadap DNA manusia. Olson mengungkapkan ”...akan tetapi, betapa pun kompleksnya, bukti genetik yang tersedia sekarang mengarah pada sebuah kesimpulan yang jujur. Menurut informasi dalam DNA kita, setiap orang yang hidup saat ini merupakan keturunan sekelompok kecil orang Afrika yang hidup antara 100.000 – 200.000 tahun lalu...”. Jadi hampir pasti kita semua saling terhubung.

Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain, terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri

Perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan juga oleh ilusi tentang adanya identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Fenomena global reduksi identitas manusia dalam identitas tunggal adalah wacana yang membagi penduduk dunia berdasarkan peradaban dan agama. Hal ini melahirkan mendekatan “soliteris” terhadap identitas manusia, yaitu pendekatan yang memandang sebagai satu kelompok semata (dalam hal ini berdasarkan peradaban atau agamanya, berbeda tajam dengan pengelompokan atas dasar kebangsaan dan kelas yang lebih dulu muncul).

Pendekatan soliteris membuka jalan bagi lahirnya kesalahfahaman di antara hampir setiap orang di dunia.

Amartya Sen, seorang penerima nobel bidang ekonomi 1998 dalam bukunya berjudul Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas mengkritik, tesis Benturan antar-Peradaban Samuel Huntington yang terkenal itu cuma menumpang belaka pada kategorisasi tunggal seturut apa yang disebut sebagai garis-garis peradaban. Ternyata garis-garis peradaban itu sendiri ditarik berdasarkan pemilahan berdasarkan agama semata dan menjadi satu-satunya aspek yang diacu sebagai dasar amatan. Huntington membuat kontras tajam antara “Peradaban Islam”, “Peradaban Hindu”, “Peradaban Budha” dsb. Asumsi tentang adanya konfrontasi antaragama ini dicakupkan ke dalam pandangan yang dibangun secara serampangan mengenai keterpisahan yang dominan dan kukuh.

Afiliasi Identitas – Sarana Perdamaian
Padahal dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai anggota dari berbagai macam kelompok – kita menjadi bagian dari semua kelompok tersebut. Tanpa perlu timbul kontradiksi, seorang yang sama dapat sekaligus menjadi seorang warga negara, pemeluk satu dari sekian banyak agama yang ada, seorang liberal, seorang perempuan, seorang pegetarian, seorang pelari jarak jauh, seorang sejarawan dll….Masing-masing kelompok di atas, tempat orang yang sama menjadi bagian dari keseluruhannya secara simultan, memberi suatu identitas yang khas. Dari masing-masingnya tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai identitas yang dimiliki oleh orang tersebut, apalagi komunal.

Pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tetap – pasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan. Namun dengan demikian, tetap sulit bagi kita untuk memercayai orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempat bernaung, atau bahwa dia hanya perlu “menentukan” identitas kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya penomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam). Pada kenyataannya, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan meskipun secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita mempunyai kebebasan yang jelas untuk mengakui, menghargai, dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Identitas tunggal dapat menimbulkan rasa keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok, bisa mengandung didalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.

Rasa keterikatan terhadap komunitas dipandang suatu sumber daya–laiknya modal. Pemahaman semacam ini penting memang, tetapi mesti disertai oleh pemahaman yang lebih dalam bahwa suatu rasa akan identitas dapat sungguh-sungguh membuat orang menampik yang lain meski perasaan yang sama pula dapat mendorong satu pihak merangkul yang lain secara bersahabat.

Seandainya kita mampu melihat secara jernih bahwa kita memiliki berbagai afiliasi yang berbeda dan dapat berinteraksi satu sama lain, melalui beragam cara yang berlainan. Tidak mengerangkeng kemanusiaan kita dalam kategori-kategori identitas tunggal, maka selalu ada kebebasan bagi kita untuk menentukan prioritas kita sendiri dalam artian afiliasi identitas adalah sebuah sarana saling memahami dan berdamai***


Mempertegas Afiliasi Identitas Sebagai Wacana Perdamaian

Oleh: Bambang Bider

Kenyataannya dunia hampir tak memiliki batas, pengalaman dan kesadaran kita telah sampai pada tahap menyadari dimana kemajuan teknologi di berbagai bidang informasi, telah membuat dunia terpapar begitu luas, beragam, kaya dan dalam kepada setiap individu tak terbatas pada golongan usia, kelas social serta tempat dan waktu. Seolah-olah untuk mengetahui isi dunia ini, hanya tekan satu tombol saja, maka dunia akan terpapar. Secara unity tak ada lagi batas administrasi kawasan–negara, semuanya absurd, dunia telah menjadi semacam global village. Satu aspek kondisi tersebut begitu menguntungkan, namun sekaligus begitu rentan.

Rentang jarak dan waktu, tak lebih dari sekedar ilusi. Jarak dan waktu tak lebih dari sederet digit nomor telepon, handphone, nomor chanel pada tuts remote televisi atau keyboard laptop (computer), yang sekali tekan maka tersambung, terpapar, tergelarlah semuanya. Tak ubah menu, tinggal pilih…terserah. Semuanya dari idea manusia dan perspektif Manusia melihat dunia (manusia lain).

Manusia sebagai subjek melihat serta menemukan manusia lain yang sama, sebagai obyek dan sebaliknya. Manusia mendefinisikan manusia, manusia mereduksi nilai manusia, manusia dengan budaya dan identitasnya sebagai produk budaya yang dihasilkan membangun manusia pula yang paling parah kita saling bertikai karenanya. Ditengah keterpaparan itu kita mencari jati diri, tentu saja kita memiliki banyak pilihan. Tentu saja kita bisa memilih, menentukan dengan sadar, walau pun terkadang tidak juga.

Manusia mencari dan menemukan identitas ditengah keterpaparannya. Keterpaparan yang rentan terhadap pengerdilan kemanusiaannya, bahkan ditengah ironi seolah kita tidak memiliki pilihan selain, hanya tunduk kepada satu-satunya kategori yaitu identitas tunggal.

Dalam pemahaman yang extrem, identitas telah mengasingkan manusia dari sesamanya, seolah-olah kemanusiaan kita hanya ditakar berdasarkan salah satu dari kategori: suku, agama, pandangan politik, kelompok dll. Manusia sekarang memang kemudian menemukan dirinya hanya direduksi dalam identitas suku bangsa, agama, warna kulit, pandangan politik dan ideology. Indikasinya manusia hanya mencari tempat berlindung dari keterpaparannya.

Dunia yang terpapar dipandang tak aman lalu, kita mengasingkan diri dan mencari perlindungan pada sekat-sekat suku, agama, pandangan politik sebagai upaya ini tak lebih dari sekedar hasil sebuah pengkotak-kotakan, sebuah hasil klasifikasi-klasifikasi, pengkategorian, komunitas-komunitas berlabel tertentu, sebuah hasil penyederhanaan yang membuat kita terkadang ”malu menjadi manusia”.




Identitas Bukan Takdir
Identitas tunggal adalah ilusi tentang takdir. Identitas tunggal atau yang lainnya (beserta dampak ikutannya) dapat menumbuhkan kekerasan di dunia ini secara sengaja maupun tak sengaja.

Kita mengidentifikasikan diri berdasarkan salah satu kategori-kategori identitas yang terpapar seolah identitas adalah sebuah takdir walaupun, memiliki identitas adalah keniscayaan. Namun merasakan dan menganggapnya sebagai sebuah takdir adalah sesuatu yang harus direnungkan dan dipikirkan ulang.

Adik saya seorang ”Dayak” menikah dengan gadis ”Jawa”, jadi identitas anaknya adalah ”Dayak – Jawa”, namun kelak seandainya keponakan saya itu sudah dewasa menjadi seorang wartawan maka ia adalah ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” sebagai manusia sosial, ia akan bergaul, kemudian, menyerap nilai-nilai dari afiliasi identitas yang sama dari seorang ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” lainnya. Walau pun ternyata ia bergaul dengan ”Dayak – Tionghoa dan seorang Wartawan” maka ada dua afiliasi identitas yang saling terhubung.

Seandainya nanti menikah dengan gadis ”Melayu” dan memiliki anak lagi, maka si anak akan menyandang identitas ”Dayak – Jawa – Melayu” dan seterusnya entah apa lagi.

Sebuah buku bagus yang ditulis oleh Steve Olson berjudul Mapping Human History tentang Gen, Ras, dan Asal – Usul Manusia mengungkapkan, fakta hasil penelusuran asal-usul manusia melalui penelitian terhadap DNA manusia. Olson mengungkapkan ”...akan tetapi, betapa pun kompleksnya, bukti genetik yang tersedia sekarang mengarah pada sebuah kesimpulan yang jujur. Menurut informasi dalam DNA kita, setiap orang yang hidup saat ini merupakan keturunan sekelompok kecil orang Afrika yang hidup antara 100.000 – 200.000 tahun lalu...”. Jadi hampir pasti kita semua saling terhubung.

Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain, terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri

Perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan juga oleh ilusi tentang adanya identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Fenomena global reduksi identitas manusia dalam identitas tunggal adalah wacana yang membagi penduduk dunia berdasarkan peradaban dan agama. Hal ini melahirkan mendekatan “soliteris” terhadap identitas manusia, yaitu pendekatan yang memandang sebagai satu kelompok semata (dalam hal ini berdasarkan peradaban atau agamanya, berbeda tajam dengan pengelompokan atas dasar kebangsaan dan kelas yang lebih dulu muncul).

Pendekatan soliteris membuka jalan bagi lahirnya kesalahfahaman di antara hampir setiap orang di dunia.

Amartya Sen, seorang penerima nobel bidang ekonomi 1998 dalam bukunya berjudul Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas mengkritik, tesis Benturan antar-Peradaban Samuel Huntington yang terkenal itu cuma menumpang belaka pada kategorisasi tunggal seturut apa yang disebut sebagai garis-garis peradaban. Ternyata garis-garis peradaban itu sendiri ditarik berdasarkan pemilahan berdasarkan agama semata dan menjadi satu-satunya aspek yang diacu sebagai dasar amatan. Huntington membuat kontras tajam antara “Peradaban Islam”, “Peradaban Hindu”, “Peradaban Budha” dsb. Asumsi tentang adanya konfrontasi antaragama ini dicakupkan ke dalam pandangan yang dibangun secara serampangan mengenai keterpisahan yang dominan dan kukuh.

Afiliasi Identitas – Sarana Perdamaian
Padahal dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai anggota dari berbagai macam kelompok – kita menjadi bagian dari semua kelompok tersebut. Tanpa perlu timbul kontradiksi, seorang yang sama dapat sekaligus menjadi seorang warga negara, pemeluk satu dari sekian banyak agama yang ada, seorang liberal, seorang perempuan, seorang pegetarian, seorang pelari jarak jauh, seorang sejarawan dll….Masing-masing kelompok di atas, tempat orang yang sama menjadi bagian dari keseluruhannya secara simultan, memberi suatu identitas yang khas. Dari masing-masingnya tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai identitas yang dimiliki oleh orang tersebut, apalagi komunal.

Pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tetap – pasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan. Namun dengan demikian, tetap sulit bagi kita untuk memercayai orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempat bernaung, atau bahwa dia hanya perlu “menentukan” identitas kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya penomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam). Pada kenyataannya, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan meskipun secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita mempunyai kebebasan yang jelas untuk mengakui, menghargai, dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Identitas tunggal dapat menimbulkan rasa keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok, bisa mengandung didalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.

Rasa keterikatan terhadap komunitas dipandang suatu sumber daya–laiknya modal. Pemahaman semacam ini penting memang, tetapi mesti disertai oleh pemahaman yang lebih dalam bahwa suatu rasa akan identitas dapat sungguh-sungguh membuat orang menampik yang lain meski perasaan yang sama pula dapat mendorong satu pihak merangkul yang lain secara bersahabat.

Seandainya kita mampu melihat secara jernih bahwa kita memiliki berbagai afiliasi yang berbeda dan dapat berinteraksi satu sama lain, melalui beragam cara yang berlainan. Tidak mengerangkeng kemanusiaan kita dalam kategori-kategori identitas tunggal, maka selalu ada kebebasan bagi kita untuk menentukan prioritas kita sendiri dalam artian afiliasi identitas adalah sebuah sarana saling memahami dan berdamai***

In search of the format for interreligious understanding
Opinion and Editorial - August 24, 2002
Bambang Bider, Journalist, Pontianak, West Kalimantan
There have been two major explosive events in our recent past. The first occurred at home with the collapse of the New Order regime, followed by the emergence of various religious, political and ethnic conflicts. The second was the Sept. 11 attacks in the United States.
In the early days of modern times, religious communities did not reject sciences. When Copernicus first presented his hypothesis on heliocentrism at the Holy See, he opened Pandora's box, triggering a revolution. Since then modern sciences have belittled mythologies and religion; one reason for the emergence of religious fundamentalism.
Fundamentalism -- be it Judaism, Christianity or Islam -- rarely comes up to fight outside enemies. Fundamentalism has emerged as an internal struggle waged by the traditionalists in fighting against their fellow adherents whom they believe have compromised much in the secular world.
In Indonesia, fundamentalism has emerged not only against fellow believers but also against the state. The state as a secular institution with various interests often belittles indigenous beliefs as it officially recognizes only five religions. These officially recognized religions, on the basis of legitimacy gained from the state, their own dogmas and their own understanding, have arbitrarily labeled indigenous religions as forms of paganism and animism.
Kalimantan Review reported in May 2001 that two evangelists set on fire sacred items belonging to a Dayak family in Sanggau Ledo district, Bengkayang regency, West Kalimantan, thereby causing the child of the house owner concerned to be possessed.
Then in July 2002, Kalimantan Review also reported a theft of a sacred statue of the Dayak ethnic group.
"Official religions" made their inroads into the Dayak ethnic groups in the 20th century. These new religions have a different kind of faith from that of the Dayak. When embracing the official religions, these new adherents abandoned a number of rites and acts that were in contradiction to the new faith.
The theological view that the indigenous beliefs of the Dayak is an example of paganism has triggered disguised resistance on the part of certain Dayak circles, who believe that this new religion has secularized the indigenous beliefs.
The scholar John Hick, who wrote An Interpretation of Religion (1989) and Rainbow of Faiths (1995), uses a philosophical foundation for the pluralistic understanding of the reality of human responses to what is considered as transcendent.
Major religions shape different perceptions and concepts about and, consequently, different responses to, major traditions or civilizations. In each tradition, human life is transformed from self-centeredness to reality-centeredness.
Religiosity, which basically means faith in transcendent reality, is expected not only to dwell on spiritual matters behind the walls of temples, convents and mosques but it must be implemented in real conditions.
Raimon Pannikar has made a mind-teasing statement that "there is now not a single human or religious tradition which is self-sufficient and capable of saving human beings from various difficulties facing the community."
This statement is a challenge for the drawing up of a new format for interreligious understanding based on universal human values, rather than just serving dogmas. Religious differences have come about not due to absolute reason but because of a particular thing connected with a particular time in history and culture. Therefore, a religious conviction must transcend traditional absolutism.
The ongoing crisis is attributable to the fact that some of us, and particularly our major social institutions, support concepts originating in an obsolete world view. A new paradigm is badly needed here. Finally, religion is a human being's subjective way of responding to and living in relation to God


Rainforests Chopped for Bio-Diesel

The world's biggest rainforest risks disappearing altogether


1.8 million hectares of rainforest are to be sacrificed to create Southeast Asia's largest oil-palm plantation, to supply the EU's increasing demand for bio-diesel, which is produced from oil palms. As fuel prices grow and energy resources are low, bio-diesel is seen as an environmentally-friendly alternative. But is it?

Environmental activists assess that more than 60 percent of Borneo's tropical rainforest has been damaged. This is mainly due to the forests' being illegally cut down or burnt to allow space for oil and timber plantations. According to the World Wide Fund For Nature (WWF), an area equal to the size of three football stadiums disappears from the surface of the globe every minute.

Albertus Tijus, WWF's project co-ordinator in West Kalimantan province, said that more and more permits for setting up new plantations were being granted: "Palm oil is the biggest danger for our tropical rainforests.

After Sumatra, Kalimantan is now the main area for setting up new plantations. The investors come from China and Malaysia. Two years ago, they started setting up plantations on the 1.8 million hectares large area along the Indonesian-Malaysian border."

Threat of extinction

But at the beginning of this year, Indonesia, Malaysia and Brunei-Darussalam agreed to protect the so-called heart of Borneo. The region's forests are home to many species of animals, for example orang-utans, elephants and rhinoceroses, as well as plants, which are threatened with extinction. There are also more than 15,000 species of plants on the island. Moreover, every month, scientists discover an average of three new species.

Bambang Bider, the leader of the "The Heart of Borneo" environment project explained as he showed journalists around a huge forest clearing that it was being turned into a tree nursery: "Young plants from here will later be planted in a plantation. Before, there was a large rainforest here, but all the trees have been cut down to make way for this plantation."

Environment protectors fear that the world's biggest rainforest will be destroyed within a few years because more and more investors are trying to make money from the increasing demand for oil palm bio-diesel.

DW Staff (ah) (taken form http://www2.dw-world.de)

Borneo orangutans face threat of extinction


by Bambang Bider

Life becomes more meaningful when one becomes aware that everything
in this universe is a whole entity, the parts of which are interrelated and interdependent.
From the point of view of internal ecology, there is an intrinsic value in every creation. Whether one realizes it or not, destruction is always linked with ignorance and a rejection of the intrinsic value of the lives of others.
Just imagine if another's life happens to be an orangutan (Pongo pygmaeus), an animal that is 97 percent genetically similar to humans.
The World Conservation Union (IUCN) has stated that the orangutans in Borneo (Kalimantan, Sabah and Sarawak) and Sumatra are now on the verge of extinction.
The 2002 IUCN Red List puts Borneo orangutans in the category of an endangered species while Sumatran orangutans are categorized as being a critically endangered species.
More than 80 orangutan experts and observers from all over the world gathered in Jakarta in January 2004 to attend the International Workshop on Population Habitat Viability Analysis (PHVA), in which the latest potential population of orangutans in Borneo and Sumatra and the factors influencing the survival of these species were analyzed.
According to an estimate made in 2004 by PHVA, the population of Sumatran orangutans of the Pongo abelii species stands at 7,501, spread in 13 habitats.
Meanwhile, Borneo orangutans have three subspecies, namely Pongo pygmaeus pygmaeus in the northwest of Borneo, starting from the northern part of Kapuas up to Sarawak, Pongo pygmaeus wurmbii in Central Borneo, starting from the southern part of the Kapuas up to the western part of Barito, and Pongo pygmaeus morio in the northeast
of Borneo, namely in Sabah and East Kalimantan.
The total population of Borneo orangutans is estimated to stand at 57,797, therefore bringing the total population of orangutans in Borneo and Sumatra to 65,298.
Threat from tree felling In the Workshop on an Action Plan for the Conservation of Kalimantan Orangutans held in Pontianak in October 2005, Sri Suci Utami Atmoko
of Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (BOS) said the total population of orangutans was greater than what was estimated about a decade ago. "However, this does not prove that there are now more orangutans than one or two decades back."
More specifically, on Borneo orangutans, MacKinnon and Ramono (1993) estimated the total population of orangutans in Kalimantan in the 1900s at over 200,000 but Sugardjito and van Schaik (1993) have found that the figure has dropped to about 45,000.
Jito Sugardjito, who is also country representative of Fauna and Flora International, said, "Tree felling to transform the function of a forest area and to turn it into forest concession land is the main threat to the population of orangutans."
In the Workshop on the Action Plan for the Conservation of Kalimantan Orangutans, which was held in Pontianak after a similar workshop for Sumatran orangutans held in September in Brastagi, Herry Djoko Susilo, from the directorate general of forest protection and nature conservation, identified the main threats facing the population of Kalimantan orangutans.
These were: illegal logging, a shift in the function of a forest areas, hunting, forest fires, unirrigated farming, drying of peat forest areas and poor management of concession forest areas.
Meanwhile, the result of research done by A.D. John published in his 1992 research paper titled Vertebrate responses to selective logging:
Implications for the design of logging systems shows that the felling of 18 trees in each hectare of orangutan habitat can damage 47 percent of the fruit trees and reduce their number by up to 50 percent.
On the same occasion, Julia Ng Su-Chen of Traffic Southeast Asia said, "What is also saddening is that cross-border illegal trading of orangutans is now flourishing." It is estimated that between 200 and 500 of them are traded every year.
She added that the trading of orangutans was flourishing because of the high market demand for these primates as pets, for private collections, souvenirs or as materials for traditional medicine.
Political will, vested interests
Meanwhile, Purwo Susanto of the Forest Conversion Initiative (Kalimantan Region) of the World Wide Fund for Nature, has come up with a more systematic cause for the fragmentation of the habitat of orangutans, qualitatively and quantitatively, that has led to the sharp drop in their population.
He said, "The main cause is both legal and illegal logging, RTRWK (spatial plans for forest areas) that fail to accommodate the need for orangutan conservation, as well as poor law enforcement and lack of political will and political action to stop illegal trading.
"Also, critical are poor coordination among countries, between the central government and regional administrations and among non- governmental organizations dealing in orangutan conservation, a lack of information related to orangutan conservation, in terms of both dissemination and equipment, on the one hand, and the quality of the drafting of policies and of law enforcement, on the other." Regarding the aspect of political will in relation to orangutan protection, Julia Ng Su-Chen has said that Indonesia and Malaysia,
particularly Sabah and Sarawak, commonly have regulations protecting these primates. The difference lies only in the political action in enforcing these regulations.
"In Sabah and Sarawak sanctions are really imposed on hunting or acts that may threaten the lives of orangutans to deter the recurrence of such acts. In Indonesia, regulations are yet to be properly enforced," she said making a comparison.
Of the total population of Borneo orangutans, 13,614 are found in Malaysia, spread in a total of 17 habitats in Sabah and Sarawak. It is understandable that orangutans in Sabah and Sarawak are highly protected because their population is small.
Meanwhile, Purwo Susanto cited a plan for the development of 1.8 million hectares of coconut palm estates along the border areas between Indonesia's Kalimantan and Malaysia's Sarawak as an example of a policy of the Indonesian government that fails to accommodate orangutan protection.
"The border area has forests of different status. In the context of the development of coconut palm estates, it is not right to convert an area into a coconut palm estate if it is still a forest and is ecologically functional to a larger area," Purwo stressed.
In response to this problem, Herry said, " Of course, if it concerns broader interests, we cannot view it from only one aspect. Our view must be balanced, in the context of sustainable development."
Erik Meijaard of The Nature Conservancy said that it was very easy to save orangutans. "Just don't kill them and don't damage their habitat," he noted.
"Protect areas that must be protected. Do not damage protected forest areas by converting the land to large-scale coconut palm and other estates.
"Forest concessionaires must accommodate harmoniously orangutan conservation efforts in their concession areas. Stop orangutan hunting," he said. (publish in The Jakarta Post, Nov 22, 2005:)

West Kalimantan Unable To Halt Illegal Logging


by Bambang Bider

I was sitting at a food stall somewhere in Jagoi, Jagoi Babang district, Bengkayang sub-district, West Kalimantan, some four kilometers from the border between Indonesia and Malaysia. Against the noisy background of the repatriation of Indonesian migrant workers from Malaysia, I caught sight of something strange some 12 meters away from the stall, still on the Indonesian side of the border area: Logs were being loaded onto a Volvo truck bearing a Malaysian license number plate.
The food stall owner, Jessil, looked nervous when I inquired about the truck but said that it was a common sight there. He said such a truck could arrive at the Indonesian area of Jagoi three or four times a day, to illegally carry timber to Sarikin, Malaysia, a practice that had already gone on over the past three years. The wood came not only from Jagoi but also from as far afield as Sambas and Pontianak regency, he added.
"The truck owner is Sugeng. He comes from Landak regency and has a wife from Sarikin. He runs a sawmill in Sarikin with some locals," Jessil said.
Strangely, the local customs office and police have done practically nothing about this smuggling, which has gone on almost every day for the past three years, although the smuggling site is about 8 kilometers (km) away from the local -- Seluas -- police station and the local customs office.
In the border area of Entikong and Tebedu, timber smuggling is increasingly rife and openly practiced. Timber from logging in West Kalimantan can easily be sold in Sarawak every day.
Between Jan. 6 and Jan. 9, 2003, members of Commission B on forestry from the West Kalimantan legislative assembly made a working visit to Entikong border checkpoint, located in Indonesia's Sanggau district and Malaysia's Sarawak. They found that every day some 50,000 cubic meters of timber from West Kalimantan was smuggled into Malaysia, through Entikong.
Records show that between early November 2002 and Jan. 8, 2003, about 4,700 truckloads of timber were smuggled to Sarawak, according to secretary of Commission B of West Kalimantan legislative assembly Naib Tappi.
Accompanied by two staff members from West Kalimantan forestry service, Tappi went on to say that although the timber smuggling had a simple pattern, local authorities were as yet unable to stop it.
Timber smuggled by truck through Entikong comes from illegal logging in West Kalimantan regencies, with timber estates in Ketapang, Pontianak, Landak, Bengkayang, Sanggau, Sintang and Kapuas Hulu.
A truck carrying timber can leave Entikong against a payment of Rp 600,000 to Rp 800,000 to a self-styled timber association from the Sanggau regency chapter of the traditional community (APMA). When the timber arrives in Sarawak, it is kept temporarily in the open air some 4 km away from the Tebedu border area. Here, it is given a legalization stamp by the company purchasing it. Then it will be sold to Malaysian companies.
Ironically, Malaysia's envoy to Indonesia Dato' Rastam M. Isa, when visiting West Kalimantan in connection with the smuggling of Malaysian-made automobiles into this province, denied knowledge of this timber smuggling.
But the ambassador's statement received a skeptical response from member of Commission B of West Kalimantan legislative council Riza Munawar, who said that illegal logging in West Kalimantan made a significant contribution to the timber business in Malaysia.
Munawar is convinced that collusion exists between officials and businesspeople of the two countries. He said there had to be a timber-smuggling syndicate operating in the area.
Timber smuggling to Malaysia is inseparable from illegal logging that has long been "condoned" by the West Kalimantan authorities.
The HPHH forest concession policy was introduced after the start of the reform movement began, while the implementation of regional autonomy has only worsened the timber sector. The locals, who in the past 32 years could only watch the depletion of their natural resources by the central government, have exploited whatever remains of these resources, therefore bringing about a dilemma in natural resources management in this region.
Ding Paraan, 32, an illegal logger in Betung Kerihun National Park, Kapuas Hulu Regency, said, "We have collected only what remains around our fields." He works with a cooperative in Putusibau to market the timber but sometimes sells it directly to the largest timber company in Pontianak.
Illegal logging has made West Kalimantan liable to a variety of natural disasters like flooding and haze. This illegal practice also reflects the delinquency of some local companies.
Data compiled by studies on illegal logging and illegal sawmills in West Kalimantan carried out by an investigation team led by Gusti Hardiansyah of the School of Forestry, Tanjungpura University, shows that 80 percent of the timber obtained from illegal logging was sold to Malaysia and only the remaining 20 percent to local buyers.
As a result, the forest in West Kalimantan is becoming endangered. The investigation team said, as a result of its study, that the remaining forested areas, including former logging areas, measured only 6,312,314 hectares (ha). Meanwhile, according to the 1997 data complied by the Ministry of Forestry, forested areas in West Kalimantan shrank by 20 percent between 1985 and 1997, from 8,700,6000 ha to 6,713,016 ha. Kompas daily, of Nov. 16, 2000, wrote that the forested areas in West Kalimantan had shrunk at a rate of 165,631 ha per year.
Chief of the West Kalimantan police command center for operational control Sr. Comr. Wayan T. Budhijaja said that the provincial police had carried out special operations that involved civilian investigators and forest rangers between 2000 and 2002. Unfortunately, no loggers had been detained, let alone taken to court.
Assistant for general crimes at West Kalimantan provincial prosecutor's office Toyib Saman said that only a few illegal logging cases had been taken to court, while illegal logging was on the increase.
Often, he said, community and customary leaders were involved in illegal logging, leading to a duality of interest in their attitude toward measures against illegal logging. Another constraint was that there was no proper storage place at which to hold confiscated illegal timber.
One of the members of Tanjungpura University investigation team Gusti Hardiansyah said that smugglers involved many parties in their activities, including community members and people from government agencies. The collusion between provincial bodies, timber bosses and community members played a key role in the illegal business, he said.
A field observation that the team has made shows that to ensure that these practices run smoothly, timber bosses and officials from the authorities concerned collude to protect each other. The bosses, for example, pay money (sopoi, in the local language) to officials in charge of places through which illegal timber has to pass. The owner of a truckload of smuggled, illegal timber from Sintang to Entikong has to pay money to the officials in charge at Sanggau, Simpang Tanjung and Entikong. If you go from Sintang to Pontianak, you have to bribe those in charge at Sanggau, Simpang Tanjung, Ngabang, Senakin, Mandor, Anjungan, Sungai Pinyuh and Jungkat.
Clearly, this neat arrangement ensures that it is unlikely that any of those involved in the smuggling of illegal timber will ever be arrested. (publish in The Jakarta PostMarch 18th, 2003)

Kearifan Dayak Bekati Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Oleh Bambang Bider

Orang Bekat adalah salah satu dari sekian banyak sub suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Sentra komunitas sub suku Bekati sebagian besar mendiami wilayah utara Kabupaten Sambas, di Kecamatan Pemangkat, Bengkayang, Ledo, Sangau Ledo, dan Seluas. Dari segi etnolinguistik orang Bekati dapat dibagi dalam tiga aksen atau dialek besar, yaitu orang Bekati yang menggunakan bahasa Bekati Riok, Bekati Sara, dan Bekati Lara. Dari segi populasi penutur bahasa Bekati Lara lebih banyak dibanding yang lain.

Dalam pergaulan dan berinteraksi di wilayah Banoe, mereka saling mengidentifikasi diri ats perbedaan akses masing-masing. Namun dalam berinteraksi dengan masyarakat luas mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Bekati saja. Perbedaan dialek dan akses tidak menjadi suatu hambatan dalam interelasi dan komunitas di antara mereka.

Tidak diketahui dengan pasti kapan penggunaan label Bekati ini sebagai penamaan sebuah sub suku untuk ketiga wilayah Banoe tersebut. Analisis secara sepintas kata Bekati berasal dari kata Kati yang dalam bahasa Indonesia berarti Tidak. Sedangkan awalan Ba mengacu pada penegasan kata Kati sebagai elemen pelengkap demi tidak rancunya kata tersebut. Ba secara elastis dapat pula diartikan sebagai instrument yang secara tidak langsung mengacu kepada kelompok-kelompok orang yang berbahasa Bakati tersebut.

Perspektif tentang Tanah
Menurut perspektif Dayak Bakati tanah dalam arti fisik berarti tanah sebagaimana diartikan dalam kamus, yaitu permukaan kulit bumi yang berada paling atas. Sedangkan dalam arti filosofis, tanah diartikan sebagai suatu tempat dimana segala peristiwa berlangsung secara kontinyu dari awal sampai akhir dan dalam peristiwa tersebut terimplikasi segala peristiwa baik dalam arti magis maupun dalam realitas keseharian yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tatanan masyarakat adat ini. Misalnya, tana baneen. Sebelum dijadikan tana baneen tanah tersebut adalah tanah biasa, namun di suatu waktu di tanah tersebut tejadi peristiwa (misalnya pembunuhan dll), maka dalam adat ini tanah tersebut dipandang sebagai kawasan terlarang. Hal tersebut dalam realitas keseharian mempunyai dampak dan secara spikis tanah tersebut telah menata sebagai asumsi masyarakat mengenai tanah tersebut. Dan berbicara mengenai tanah, maka harus kita lekatkan dengan air yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut sebagai ,em>tana paitn yang berarti tanah air; dan secara langsung kita harus membicarakan pula segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Secara deskiptif orang Dayak Bakati mempunyai konsep tersendiri tentang tanah, diantaranya : pertama, tana tarutn orokng emmbakng, yang berarti konsep pemahaman mengenai bumi, air dan kekayaannya. Pemahaman konsep ini bersifat universal tidak hanya terbatas pada konsep tammbao (kampung), banoe (kawasan geo politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan adat istiadat) dan nagari (negara), tetapi mencakup dunia secara menyeluruh.

Dua, gale pate, yang dapat diartikan sebagai kawasan yang telah diklaim oleh sekelompok orang sebagai kawasan perburuan dan untuk mencari bahan-bahan bangunan. Munculnya konsep ini tidak terlepas dari tatanan adat dan lingkungan sekitarnya pada masa itu. Dulu, selain pertanian (berladang), berburu adalah kegiatan yang tidak kalah penting dalam evolusi pembentukan budaya masyarakat Dayak Bakati ini. Berburu merupakan kegiatan prestise, khususnya bagi kaum laki-laki. Hal ini ditandai dengan banyaknya kulit atau rahang binatang buruan yang biasanya dikumpulkan di dekat perapian. Makin banyak yang dikumpulkan makin dikagumi dan bisa dijuluki sebagai pangaba pangamih (pemburu ulung).

Secara politis kegiatan berburu juga mempunyai arti sendiri dalam kaitannya dengan penguasaan teritorial. Dalam berburu mereka menjelajah hutan untuk mencari kawasan yang masih banyak binatang buruan maupun kekayaan nabati. Setelah ditemukan kawasan yang dikehendaki, maka di kawasan tersebut segera didirikan Pate . Dan bila ternyata mudah mendapatkan buruan, maka kawasan tersebut akan diklaim dengan cara adat dan diberi tanda dengan tempayan tajau. Dari tindakan pengklaiman inilah muncul istilah gale pate.

Di kawasan gale’ pate’ tidak boleh dilakukan kegiatan pertanian atau mengerjakan sesuatu yang dapat menurunkan fungsi sebagai kawasan konservasi. Dari sinilah dikenal istilah hutan adat. Gale’ pate’ juga berfungsi sebagai baat (batas) banoe satu dengan yang lain.

Tiga, pakudh (makudh) songe, yaitu suatu tindakan komunitas masyarakat untuk mengklaim suatu sungai. Hal ini tidak berbeda jauh dengan gale’ pate’, hanya berbeda subjeknya saja, yaitu sungai.

Empat, noan tuetn, yaitu membuka hutan primer untuk pertanian atau perkampungan. Bila dilakukan secara individual, maka areal tersebut akan menjadi lahan milik, tetapi bila dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat, maka akan menjadi milik kolektif bersama.

Lima, ba oma’ , yaitu cara mendaptkan tanah dengan berladang. Setelah selesai menanam padi di ladang, tamure’ bekas ladang ini akan diistirahatkan selama 15 – 20 tahun. Dan bila ingin memiliki lahan ini maka disamping menanami dengan tanaman pertanian, harus menanam juga dengan tanaman keras seperti tengkawang, karet, dan buah-buahan. Cara ini merupakan penguasaan terkuat atas suatu lahan menurut adat Dayak Bakati’.

Penggunaan Tanah (Land Use)
Ada beberapa konsep penggunaan tanah dalam masyarakat Dayak Bakati’, diantaranya : Satu, tana’ tammbao, yaitu tanah sebagai lokasi perkampungan. Biasaya tanah sebagai perkampungan ini terletak di daratan tinggi atau pada tana’ lammbaukng (tanah landai di tepi sungai), dan merupakan tanah kolektif.

Dua, tammbao boah/tammbao ammba, yaitu tammbao (bekas perkampungan) yang telah ditinggalkan penghuninya selama antara 20 – 40 tahun. Disebut tammbao boah karena terdapat banyak tanaman buah-buahan di lokasi tersebut, dan disebut tammbao ammba karena merupakan bekas pemukiman. Tanah tersebut hingga sekarang masih diakui sebagai tanah adat kolektif.

Tiga, tana’ tammag, yaitu tanah yang difungsikan sebagai lokasi makam. Tanah ini dimiliki oleh setiap tammbao, dan biasanya dicirikan oleh adanya pohon-pohon besar karena pada areal tersebut pohon-pohon tersebut tidak boleh ditebang.

Empat, tana’ tuetn (tuetn adat), yaitu kawasan konservasi adat dimana pada kawasan tersebut terdapat kekayaan hayati yang kelestariannya menjadi tanggungjawab bersama komunitas yang melindunginya. Kawasan ini menjadi cadangan dimana mereka berburu dan meramu, dan juga berfungsi sebagai sumber air. Kawasan ini tidak boleh diladangi secara sembarangan, karena disamping sebagai kawasan lindung, kawasan ini juga dikeramatkan.

Lima, tana’ tampes, yaitu kawasan yang luas dan diperuntukkan sebagai kawasan ladang daur ulang. Pada kawasan ini terdapat beratus-ratus tamure, yaitu bekas ladang yang baru saja ditinggalkan/dipanen pemiliknya. Tamure ini biasanya diladangi kembali oleh orang lain dengan meminta izin kepada orang terakhir yang berladang di areal tersebut.

Enam, tana’ paper, yaitu dataran tinggi atau tanah pegunungan. Paper kadang memiliki tanah rata di puncaknya dengan luas antara 5 – 7 hektar. Bila paper tersebut merupakan bekas perladangan (tamure) maka vegetasinya kebanyakan berupa pohon kecil dan belukar solum; bila masih berupa hutan perawan (tana’ tuetn), maka kebanyakan pohonnya berbatang lurus, besar, dan tinggi, dan bila paper tersebut merupakan kawasan pemukiman (tammbao), maka areal tersebut ditumbuhi tanaman masyarakat penghuni tammbao.

Tujuh, tana’ panndaadh/ajah, yaitu tanah dengan kemiringan 45˚ - 75˚ di sisi paper. Bila kemiringannya melebihi di atas maka disebut Sareab, dengan ciri : tanah podzolik merah kuning, daya menahan air jelek, peka terhadap erosi, produktifitas tanah rendah, dan vegetasinya kebanyakan berupa belukar dan pohon yang berbatang lurus. Bila ajah tersebut ada;aj soso ajah tammbao, maka yang ditemukan kebanyakan berupa pohon buah-buahan dan kebun karet masyarakat.

Delapan, tana’ tekel. Terletak di bawah ajah atau antara ajah dengan lammbukng, agak landai sedikit bergelombang, jenis tanah humus, vegetasinya kebanyakan belukar, peka terhadap erosi, cukup subur untuk ladang, dan produktivitasnya tinggi.

Sembilan, tana’ lammbaukng. Arela ini disebut juga hutan daerah dataran rendah air tawar, karena terletak di tepi sungai (http://fkkm.org/)